Pagi ini

Ka, pagi ini sesuatu yang membuatku terluka kembali terjadi. Ayah & Ibuku bertengkar hebat lagi. Suara ibuku tinggi sekali hingga kedengaran sampai ke tetangga-tetangga. Terus terang aku malu saat melangkahkan kaki keluar pintu, malu akan tatapan tetangga yang mungkin men-judge kami di dalam hati mereka.
Ka, di dalam perjalanan ke kantor aku terus merenung & akhirnya aku sampai pada kesimpulan aku belum siap menambah orang baru di hidupku. Mumpung kita belum bertemu hingga kamu menjadi salah paham. Jangan sampai kamu berpikir setelah bertemu tiba-tiba aku berubah karena kecewa setelah melihat secara fisik. Tidak, aku tidak ingin kamu berpikir seperti itu, aku mencintaimu karena pembawaan kamu tidak ada hubungannya dengan fisik kamu.

Ka, agar kamu lebih mengerti dengan keputusan berat yang aku ambil ini, biarlah aku menceritakan  alur hidupku hingga kamu paham & bebas mengambil keputusan. Apakah kamu ingin terjun ke dalam hidupku atau cukuplah menjadi teman online saja. Apapun keputusan kamu aku 100% akan sangat mengerti. Karena kamu berhak sukses, kamu berhak fokus dengan cita-citamu tanpa terganggu dengan permasalahan hidupku.

Ka, inilah ceritaku:
Masa kecilku menurutku masa yang cukup bahagia. Aku mengenal Bunta seolah-olah itu tempat kelahiranku karena sejak dilahirkan di Gorontalo aku langsung dibawa ke kecamatan itu lalu tumbuh & berkembang di sana. Saat kecil kita memang tidak mengenal derita, kita polos & hanya memikirkan untuk bermain.
Aku juga kurang mengenal kemiskinan karena sejak aku berumur anak-anak aku sudah tinggal di rumah batu yang terlihat bagus dibanding rumah tetangga, aku juga tidak kekurangan makanan, sudah punya TV warna yang saat itu masih jarang sehingga kadang-kadang menjadi tempat kumpul nonton bareng. Kalau ke sekolah kadang-kadang di antar pakai motor kadang juga jalan kaki.

Hingga akhirnya musibah itu datang, kakak perempuanku yang waktu itu masih SMP kelas 3 jatuh sakit. Sakit yang menurut orang-orang adalah aneh karena setiap mau ikut ujian akhir selalu sakit. Kata orang kakakku menjadi sasaran santet. Kata dukun, rumah kita sudah di"tanami" sehingga susah melakukan penyembuhan. Akhirnya kami pindah ke keluarga papa di Bohotokon. Proses pengobatan itu lama & memakan biaya. Bisnis papa sebagai penjual kain mulai goyang. Papaku seorang yg sabar & ulet. Selain berjualan dia punya kebun kelapa, hewan ternak, ngojek offline, jualan buah durian, pokoknya semua yang bisa menghasilkan uang dia kerjakan.

Waktu kakaku sakit itu aku kelas 4SD, karena tidak kunjung sembuh jua, akhirnya diputuskan kami akan dibawa ke keluarga mama di Gorontalo dan menjalani pengobatan di sini. Di Gorontalo mama punya banyak saudara ada 4 saudara di Tomulabutao yang rumahnya saling berdekatan. Kami tinggal pindah-pindah di antara saudara itu karena tidak mudah tinggal dengan orang. Akhirnya aku bersekolah kelas 5 SD di Gorontalo.
Singkat cerita kakaku mulai sembuh dan demi kelancaran financial kami balik lagi ke Bunta dan aku melanjutkan kelas 6 SD di sekolah lamaku itu.
Tetapi sayang menjelang aku SMP kakakku kembali sakit. Orang tuaku putus asa kami sekeluarga diboyong lagi ke Gorontalo dengan konsekuensi kakakku putus sekolah. Padahal kakakku tergolong pintar di sekolah selalu di rangking 1 & 2. Tetapi Tuhan berkehendak lain.
Tinggal akulah harapan satu-satunya & disekolahkan di SMP 10 Gorontalo karena dekat dengan rumah.
Demi kenyamanan kami, papaku memutuskan membuat rumah di sini. Di tanah warisan pembagian orang tua mama. Dapatnya di belakang rumah tante jadi rumahku bukan di pinggir jalan. Dulu akses jalan mudah tapi tetangga yang di depan rumah memutuskan memagar tanahnya dan jalan yang biasa dilalui itupun terhalang. Untuk masuk ke rumah harus memutar di jalan setapak.

Untuk membuat rumah ini papa menghabiskan modal usahanya, tokonya akhirnya bangkrut, kebun di jual, hewan ternak dijual hingga akhirnya rumah kami di Bunta pun ikut dijual. Andai aku sudah cukup besar saat itu, aku tidak akan mengizinkan papa membuat rumah di gorontalo. Biarlah aku nge-kost saja itu jauh lebih mudah tapi rasa sayang orang tua kepada anak-anaknya telah mengaburkan planningnya. Seolah-olah dia pasrah kepada Tuhan apa yang terjadi maka terjadilah. Sekarang ayahku tinggal bersama kami di Gorontalo dan hanya menjadi buruh di toko tidak terlalu jauh dari rumah. Berangkat ke toko dengan naik sepeda Poligon yang aku belikan dengan gajiku. Kecilnya gaji papa sekarang menjadi pemicu perkelahian dalam rumah tangga. Hingga keluarlah perkataan mama bahwa dia dinikahkan dengan papa bukan atas cinta. Yang aku sendiri masih belum jelas apakah dia menerima karena menuruti perintah keluarga besar atau apa aku sudah kehilangan rasa mencari tau.

Tetapi ini tidak semua kesalahan mereka, andai aku bisa lebih bersabar & tidak salah dalam mengambil keputusan, seharusnya aku bisa mendapat pekerjaan yang lebih menghasilkan yang bisa meringankan beban finansial keluarga & menjadi kebanggaan keluargaku. Seperti dengan bodohnya aku melanjutkan kuliah dengan posisi keuangan papa yang sudah amburadul. Aku berharap aku bisa bekerja sambil kuliah tetapi itu tidak mudah. Terutama daya tahan tubuhku yang tidak bisa terlalu capek. Akhirnya aku memutuskan quit di semester 3 dan mencari pekerjaan. Itulah kenapa aku tidak memiliki resolusi-resolusi masa depan seperti yang dulu pernah kamu tanyakan.

Ini hanyalah garis besar dari kehidupanku, masih ada detail-detail kecil yang entah kapan bisa aku ceritakan.
Aku tidak pernah menceritakan ini kepada orang karena aku tidak mau dikasihani. Aku selalu memakai "topeng" bahagia agar orang-orang tidak perlu merasa perlu membantuku.
Aku tahu ini salah, aku tidak menjadi apa adanya diriku.
Satu hal yang pasti setelah membaca ini kamu tidak perlu mengasihaniku, dengan gajiku yang sekarang aku masih bisa bertahan hidup.
Aku hanya perlu menerima keadaanku dengan ikhlas, aku masih perlu belajar menjadi diri sendiri yang apa adanya. Setiap hari aku mengintrospeksi diri, mencoba membersihkan hati dari sifat sombong, angkuh, tidak mau mengalah. Mungkin Tuhan hendak mengajarkanku untuk itu. Kalau orang lain bisa terlihat bersinar dengan segala kekurangan mereka, mengapa aku tidak bisa?
Terus terang aku masih memutar otak bagaimana cara agar orang tuaku bisa berhenti bertengkar. Tiap hari aku muhasabah diri, mungkin dosaku begitu banyak, mungkin ibadahku terlalu sedikit. Mungkin aku kurang ikhlas. Entahlah.
Maafkan aku ka, aku berharap aku orang normal seperti kamu. Bisa membahagiakan kamu, bisa menjadi seperti yang kamu mau. Tapi hidup kita terlalu berbeda.
Maafkan aku ka, sungguh aku mencintaimu tapi aku tidak sempurna untuk kamu. Kamu berhak mendapatkan yang lebih dari aku. Setiap hari aku berdoa untuk kamu agar kamu umur panjang & mengecap apa artinya kesuksesan. Kamu menikah & memiliki anak-anak yang lucu & saleh. Menjadi kebanggaan orang tua kamu. Cukuplah cerita hidupku menjadi lecutan buatmu menggapai cita-cita.
Terima kasih telah pernah hadir di hidupku. Kamulah orang pertama tempat aku mencurahkan isi hati. Tidak akan mudah melupakanmu.

Fahrizal

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Hotter Potter Reading Event 2013] Telaah Buku Empat Harry Potter and The Goblet of Fire

[Hotter Potter Reading Event 2013] Telaah Buku Satu Harry Potter and The Sorcerer's Stone

[Meme & Giveaway April 2013] Kitab Mantra Standar Karya Miranda Goshawk